Langsung ke konten utama

Hormatilah Orang Baik, Bukan Orang (yang Lebih) Tua

Cerita nyata yang ringkas: secuil serpihan filsafat, pelajaran bahasa Indonesia, dan dunia kewartawanan yang terpumpun sekaligus dalam satu adegan kecil.

Sumber gambar ilustrasi: Facebook Defense Shotokan Karate Club

Wartawan semua koran grup Jawa Pos yang ada di Provinsi Sumatra Utara berkumpul di aula hotel di Berastagi untuk mengikuti pelatihan jurnalistik pada 22 tahun silam. Reporter kota, reporter kabupaten, fotografer, redaktur, dan pemimpin redaksi semuanya hadir, termasuk beberapa reporter harian Radar Medan dan harian Radar Nauli dari Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara. Sejumlah redaktur ditugasi menyampaikan materi pelatihan. Pada saat itu saya, redaktur rubrik Daerah, memilih pokok bahasan yang saya sukai: tata bahasa Indonesia.

Kalau saya taksalah ingat, dua wartawan kawakan dari luar grup Jawa Pos yang juga kawan sesama anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yaitu Bambang Soedjiartono (majalah Tempo) dan “Babe” Atmadi (dosen jurnalistik, pengarang serbabisa, mantan redaktur Waspada), juga hadir menyampaikan materi liputan investigatif. Pada waktu itu pemred saya, Choking Susilo Sakeh, adalah ketua AJI Medan, dan saya anggota AJI sejak masih bertugas sebagai reporter di Balige.

Dalam penataran pemberitaan itu saya memaparkan soal-soal gramatika yang praktis, bukan teoretis, dengan mencontohkan teks berita yang salah. Saya menyiapkan catatan dan kliping berita daerah yang pernah saya edit. Saya berharap para reporter akan lebih cepat mencerna tata bahasa jikalau diajarkan berdasarkan kesalahan mereka sendiri. “Pengalaman [pribadi] adalah guru terbaik,” begitu bunyi ujar-ujar, pikir saya.

Dua di antara soal yang saya bahas ialah semantik dan logika bahasa, yang saling berpautan. Contohnya, penggunaan -nya sebagai partikel, bukan sebagai pronomina, dalam frasa adverbial tidak benarnya dan benar tidaknya. Saya sengaja mencontohkan frasa tersebut karena sehari sebelumnya reporter Kabupaten Karo menulis laporan “DPRD perlu membentuk pansus untuk mengklarifikasi tidak benarnya kasus….”

Saya mengatakan kepada peserta pelatihan bahwa dalam konteks laporan wartawan Karo itu, penulisan yang tepat ialah benar tidaknya, bukan tidak benarnya. Pansus DPRD perlu dibuat karena ada suatu masalah yang tidak terang benderang, yang belum bisa dipastikan benar atau salah. Dengan kata lain, belum tentu “benar [atau] tidaknya.”

Frasa tidak benarnya adalah bentuk pengingkaran, yang maknanya sama dengan ketidakbenaran atau ketakbenaran (artinya sudah jelas: “keadaan yang tidak benar”), sedangkan benar tidaknya merupakan pilihan “benar atau tidak.”

Saya mengatakan wartawan harus menulis kalimat yang maknanya tepat; dan kalimat yang tepat, yang benar, harus logis; dan kalimat yang logis, yang masuk akal, harus sesuai dengan penalaran kaidah bahasa. Di situlah pertalian semantik dengan logika.

Ketika saya masih sedang membahas topik tersebut, dan para sejawat wartawan pun serius menyimak, tiba-tiba seorang reporter dari kabupaten lain, bukan dari Karo, menyela kata-kata saya dari jajaran kursi belakang. “Ah, sudahlah, Jarar! Tidak usah menggurui! Saya sudah jadi wartawan sejak kau belum lahir!” katanya dengan suara yang keras. Ya, dia berteriak, makanya saya menggunakan tanda seru.

Buset, kurang ajar nian si tua bangka itu!

Bayangkan, ibaratnya saya perwira pertama, kapolsek berusia 25 tahun, sedang memberikan arahan tugas dalam rapat. Kemudian salah satu bawahan saya yang sudah tua dan, tentu saja, pangkatnya jauh di bawah pangkat saya, tiba-tiba memotong perkataan saya dan berteriak mencaci saya dengan kata-kata ala preman kaki lima. Apa hukuman yang pantas bagi dia menurut Anda? Hormat bendera seharian? Dipecat?

“Oh, Tuhan, jangan,” saya berbatin, karena begitu mendengar ocehannya, saya ingin berlari untuk menerjangnya. Saat itu usia saya masih sangat muda, dan saya berlatih karate hingga sabuk hitam. Dalam kamus saya takada “hormatilah orang yang lebih tua,” karena saya hanya mau menghormati orang yang baik, entah muda, entah tua.

Untunglah saya bergeming. Selama beberapa detik saya tetap berdiri mematung dan membisu: bertarung melawan “diriku yang lain, Jarar yang lain”. Untunglah pula pemred saya, Choking Susilo Sakeh, segera angkat bicara, entah karena dia tahu saya sedang bimbang di antara mengalah dan melangkah maju. “Okelah, ini sudah tengah malam. Besok lagi kita lanjutkan. Jarar pun sudah capek kejar-kejaran dengan Indorayon,” katanya.


Ketika berjalan menuju ke kamar hotel, beberapa kawan reporter dan redaktur berusaha menyabarkan saya: “Kau benar. Dasar dia itu yang enggak terima diajari, merasa senior.” Kemudian saya menceritakan bahwa si reporter tua itu kecewa berat karena sejumlah laporannya, seperti berita seremonial pejabat, tidak saya terbitkan.

Saya pernah mengatakan kepada dia bahwa saya selaku redaktur harus mengutamakan berita yang lebih penting dan lebih menarik supaya koran laku dijual. “Berita seremonial besok-besok bisa terbit kalau masih muat,” kata saya.

Beberapa tahun lalu saya sempat membaca tulisannya yang berupa berita singkat dalam sebuah media, dan saya tidak kaget. Dia masih tetap taktahu membedakan preposisi di dan prefiks di-, dan mungkin saja dia sudah begitu sejak saya belum lahir. Susunan kalimatnya pun masih tetap seperti yang dulu: semrawut kayak rambut saya.

⸻j⸻
Jarar Siahaan menjadi jurnalis independen sejak 1994; berkompetensi wartawan utama; pernah menemukan lokasi surga dan neraka lewat Google Maps; mencintai bahasa Indonesia, fotografi, dan jurnalisme sampai ke tulang sumsum. Ikuti cerita pengalaman hidupnya dalam status publik di facebook.com/jararsiahaan.

Postingan populer dari blog ini

Jika Freddy Situmorang Jadi Bupati, Rapidin “Menggiring Anggaran” ke Samosir

ADVERTORIAL—Bakal calon Bupati Samosir dari PDIP Freddy Paulus Situmorang akan berpasangan dengan Andreas Bolivi Simbolon. Anggota DPR terpilih Rapidin Simbolon akan membantu Freddy dengan APBN dan APBD Sumut. Regu penggerak pemilih Freddy Situmorang dikukuhkan di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, 14 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Sudah menjadi rahasia umum, selama ini banyak bupati dan wali kota di Indonesia yang tidak bisa maksimal membangun daerahnya karena kesulitan memperoleh anggaran pembangunan dari APBN. Kepala daerah mesti punya kemampuan melobi kementerian, antara lain melalui pengaruh politik anggota DPR. Inilah salah satu keunggulan Freddy Situmorang, yang punya slogan “energi baru”, dibandingkan kandidat lainnya. Dia sudah mendapat dukungan penuh dari politikus nasional Rapidin Simbolon, anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Sumatra Utara. Sokongan penuh Rapidin ini dia ucapkan sendiri ketika menghadiri pengukuhan

Verisa Sinaga: Kita “Memberontak,” Sayalah Ketua PKK Samosir Nanti

ADVERTORIAL— Freddy Situmorang , bakal calon Bupati Samosir dari PDI Perjuangan, punya keunggulan yang takada pada diri petahana Bupati Vandiko Gultom, yaitu bahwa Freddy memiliki seorang istri, pasangan hidup yang dicintainya, sedangkan Vandiko masih membujang, tidak punya istri. Dalam konteks politik pilkada, status beristri dan takberistri ini signifikan, karena bisa dimanfaatkan untuk meraih suara, khususnya suara kalangan perempuan. Dari kiri: Andreas Simbolon, Rapidin Simbolon, Freddy Situmorang, dan Verisa Sinaga dalam acara politik di depan seribu warga di Desa Tomok Parsaoran, Kabupaten Samosir, 18 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Istri Freddy Paulus Situmorang adalah seorang boru Sinaga, yang bernama lengkap Verisa Margret Subara. Menurut salah satu kerabat Verisa, Subara adalah akronimi dari Sinaga Uruk Barita Raja, yang berasal dari Desa Sirait, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir. Nama “Verisa” sendiri mengandung makna yang bagus. “Gemar membantu dan praktis. Dia setia, m

Tersebab 11 “Dosa yang Dicari-cari,” Dokter PNS di Samosir Dipecat Bupati

Pangururan, BATAK RAYA —Bilmar Delano Sidabutar (33), dokter yang menjadi PNS sejak 2016 di Kabupaten Samosir, dipecat oleh Bupati dengan sebelas alasan. “Fitnah. Kesalahanku dicari-cari. Ada tawaran berdamai, tapi saya tidak tertarik. Akan kutuntut sampai puncak,” kata dr. Bilmar. Dokter Bilmar Delano Sidabutar (Foto: dokumen pribadi) Justru pada saat masih kurangnya tenaga dokter di Kabupaten Samosir, Bupati Vandiko Gultom nekat memberhentikan dr. Bilmar Sidabutar sebagai pegawai negeri sipil berdasarkan surat keputusan yang diteken Bupati pada 2 Agustus 2024. Jabatan terakhir Bilmar ialah dokter ahli muda di Puskesmas Limbong, Kecamatan Sianjurmulamula. Sebelum itu, dia bertugas sebagai kepala Puskesmas Harian, Kecamatan Harian. Menurut surat keputusan (SK) Bupati, dr. Bilmar “telah terbukti dengan sengaja melakukan” sebelas kesalahan, tetapi Bilmar membantah semuanya. “Sebelas dosa besar” dr. Bilmar Sidabutar Berikut rincian sebelas kesalahan Bilmar seperti tercantum dalam surat ke