Seorang redaktur eksekutif, yang jauh lebih tua daripada saya, mencak-mencak sembari melangkah menuju ke bilik kerja pemimpin redaksi (pemred) yang pintunya terbuka. Kemudian sekejap mata dia berhenti di pintu. “Coba kautengok,” katanya kepada Pemred, lalu berpaling ke belakang melihat saya yang lagi duduk bekerja, “ini baru kemarin jadi redaktur, sudah berani pending beritaku.” Lantas dia masuk ke ruangan pemred dan menggerundel dengan suara yang sengaja diperkuat.
Ilustrasi karya Peter Arkle via reutersinstitute.politics.ox.ac.uk |
Superiorku itu marah-marah lantaran saya, yang kala itu jadi redaktur berita daerah, tidak menerbitkan liputannya tentang kasus proyek di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Dalam tulisannya dia menuding seorang kontraktor, kepala dinas, dan bupati terlibat kolusi dan korupsi, tetapi sama sekali takada wawancara dengan pihak yang dituduh.
“Berita ini belum bisa terbit. Melanggar kode etik. Minta konfirmasi dulu lewat reporter kita di sana,” kata saya dalam pesan via intranet kantor kepada koordinator liputan.
Dalam hal itu Pemred juga mendukung sikapku, dan mengatakan saya sudah menjalankan tugas dengan benar. “Itulah gunanya redaktur. Jangan sampai kita digugat karena tidak konfirmasi,” katanya.
Pengalaman pribadi pada 22 tahun silam di kantor koran milik grup Jawa Pos di Medan itu terus saya pegang teguh hingga saat ini: berita takboleh terbit kalau tidak ada wawancara dengan pihak yang dikritik, dituding, atau dipersalahkan.
[Baca juga: “Hormatilah Orang Baik, Bukan Orang (yang Lebih) Tua”]
⸻
Asas jurnalistik tersebut juga sudah saya praktikkan sebelum menjadi redaktur, ketika saya masih jadi reporter di kampungku, Balige, Kabupaten Toba. Contohnya, saya pernah menunggu Bupati Toba mulai pukul 10.00 hingga sekitar pukul 16.30 untuk “wawancara benar atau tidak”, yang lazim disebut “konfirmasi” oleh kalangan pers.
Waktu itu saya memperoleh informasi menarik lagi penting: seorang PNS perempuan yang notabene istri Sekda Toba tidak masuk kantor selama berbulan-bulan hanya karena malas, bukan karena sakit atau alasan lainnya, dan tanpa izin. Sayangnya, pejabat yang membocorkan kabar ini tidak bersedia identitas dirinya dicantumkan sebagai narasumber. “Langsung saja tanya Bupati,” katanya, “karena masalah ini sudah dilaporkan kepada Bupati.” Informanku itu adalah narasumber lingkaran pertama sehingga informasinya akurat dan mendetail. Dia juga memberikan bukti sahih beberapa macam dokumen.
Setelah mempelajari semua bahan berita itu, saya mendatangi rumah Sekda untuk mewawancarai istrinya, tetapi “Ibu tidak ada,” kata seseorang di sana. Lalu saya menuju ke kantor Sekda, tetapi dia sedang berada di luar kota, dan panggilan teleponku tidak dijawab.
Akhirnya saya melantas menjumpai Bupati kendatipun saya tahu dia takkan mau menerimaku untuk interviu. “Kata Bapak, Lae tunggu saja,” kata asisten pribadi Bupati kepadaku.
Setelah dua jam lebih saya duduk menunggu, pada tengah hari Bupati keluar dari ruang kerjanya untuk pulang makan di rumahnya.
“Bagaimana wawancara kita, Pak? Tadi Bapak minta saya tunggu,” kataku.
“Saya mau makan siang dulu,” katanya.
“Jadi, saya tunggu lagi Bapak di sini?”
“Nanti saya masih datang.”
Sekitar tiga puluh menit selanjutnya, asisten pribadinya sudah kembali ke kantor. “Lae enggak pulang dulu untuk makan?” dia bertanya.
“Kalau saya pulang, nanti Bupati datang, banyak tamu lagi, enggak sempat pula wawancara,” kata saya. Padahal, sebenarnya perutku sudah berasa perih. Untunglah dia memberikan sebungkus onde-onde ketawa dan mengimbuh minumanku.
Tidak lama kemudian Bupati datang. Namun, seperti sangkaanku, hingga jam kerja berakhir dia tetap tidak menyilakan saya masuk meskipun takada lagi tamu lain yang mesti diterimanya, dan, menurut asistennya, semua surat sudah ditekennya. Dia hanya membaca surat kabar di ruang kerjanya. Jadi, jurus terakhirku: wawancara cegat.
Petang hari itu, sembari berjalan ke arah parkiran mobil dinasnya, Bupati pun kutanyai, “Apa benar Bapak sudah tahu istri Sekda tidak masuk kantor selama berbulan-bulan?” Bupati tidak menjawab.
“Apa sanksinya, Pak, kalau pegawai bolos berbulan-bulan? Apakah akan dipecat?” kataku lagi. Bupati masih membisu.
Persis ketika Bupati hendak memasuki sedannya, saya mengajukan pertanyaan pemungkas, “Apakah benar Bapak takberani mengambil tindakan karena dia istri Sekda?”
Akhirnya Bupati merespons dengan hanya satu kalimat yang ketus. “Terserah kaulah, tulis besar-besar di koranmu,” katanya sambil menepis alat perekamku, lalu menutup pintu mobilnya.
Besok paginya, memang benar kata Bupati, laporanku terbit pada halaman muka koran dengan judul berukuran besar: “Istri Sekda Bolos Berbulan-bulan, Bupati: Tulis Besar-Besar”.
⸻
Semasa saya jadi pemred di Batam, Kepulauan Riau, seorang reporterku pernah meliput unjuk rasa, dan dia mengirim liputannya kepadaku tentang aktivis LSM menuding Wali Kota melakukan kesalahan dan kejahatan. Lantas saya membaca beberapa media Batam dan Jakarta yang telah menyiarkan berita demonstrasi itu, tetapi di dalamnya takada satu kalimat pun pembelaan diri Wali Kota.
Kemudian saya menelepon reporterku itu dan menugasinya menginterviu Wali Kota soal tuduhan LSM. “Harus Wali Kota, bukan humasnya. Kalau kau tidak berhasil wawancara, beritamu ini takkan kuterbitkan,” kataku. Saya tahu itu tidak mudah baginya, karena dia taksuka kepada Wali Kota, dan dia dekat dengan aktivis yang menjadi narasumber beritanya.
Setelah terus mencoba selama tiga hari, akhirnya dia dapat mewawancarai Wali Kota, dan berita itu pun saya terbitkan.
Entah disadarinya, sesungguhnya saya tengah melatih dia bukan semata-mata supaya punya vitalitas dalam mengejar narasumber, melainkan agar dia memahami kaidah jurnalisme: independen, imparsial, praduga tak bersalah, tidak berat sebelah, menghindari bias, dan menjaga jarak dengan narasumber. “Nanti kalau kau pindah media, atau suatu saat kau jadi pemred, ingatlah itu: wajib konfirmasi,” kataku kepadanya.
Kebalikannya, saya juga sering mendapati wartawan yang berpendapat bahwa liputannya sudah laik terbit karena dia telah mencantumkan “ketika ditanya lewat WhatsApp, Kepala Dinas tidak menjawab,” atau “Bupati tidak berada di kantornya saat akan dikonfirmasi.” Menurut dia, tulisannya itu sudah berimbang dan sesuai dengan tata susila pemberitaan, padahal “tidak semudah itu, Ferguso!”
Sememangnya siapa kita wartawan ini sehingga pejabat publik harus bersegera menanggapi setiap pertanyaan kita? Wartawan janganlah merasa berkuasa, dan jangan pula merasa jadi orang penting. Kita mesti sadar bahwa kepala dinas dan bupati tentu punya banyak kesibukan, seperti menghadiri rapat, menelaah serta meneken setumpuk surat, dan bertugas ke luar kota.
Oleh karena itu, wartawan harus sabar dan gigih, takcukup hanya satu kali berusaha, dalam mewawancarai pejabat publik. Wartawan juga mesti menguji kebenaran informasi kepada bukan hanya satu orang; menanyai narasumber yang berkompeten, terutama narasumber lingkaran pertama, yaitu pelaku, korban, dan saksi mata; serta, bila mungkin, mendapatkan bukti dokumen.
⸻
Saya sering kali membilangi reporterku tentang disiplin verifikasi itu dengan cerita rekaan “wawancarai anjingnya”. Moral kisahan ini adalah agar wartawan tidak cengeng dalam upaya berwawancara, apalagi dengan pejabat publik yang tugas pokok dan fungsinya bukan melayani pers.
Redaktur: Beritamu ini cuma sepihak, hanya tuduhan dari LSM. Kenapa tidak ada pembelaan diri dari pihak Bupati?
Reporter: Bupati sangat sibuk, banyak tamunya. Telepon dan pesanku juga tidak dijawab.
Redaktur: Coba tanya humasnya.
Reporter: Sudah semua kutanya. Humas mengaku belum tahu masalah itu. Wakil Bupati tidak bersedia wawancara. Sekda no comment. Para asisten juga begitu.
Redaktur: Baiklah. Sekarang bawa roti dan air minum dalam ranselmu. Kau duduk dekat pintu kantor Bupati sampai dia keluar. Kalau dia takada lagi di sana, cari tahu dia di mana. Ikuti. Kalau tidak ketemu, tunggu di gerbang rumah dinasnya. Kalau tidak nongol juga, kaucari info dari satpam atau pembantunya. Kalau mereka diam, coba lihat apakah ada anjing peliharaannya di situ, dan coba ajak bicara. Kalau ternyata bisa ngomong, konfirmasi ke anjingnya itu! ❑
⸻j⸻
Jarar Siahaan berkompetensi wartawan utama; menjadi jurnalis sejak 1994; makan gaji selaku editor lepas Batak Raya; suka menulis perkara kewartawanan dengan lagak bahasa satire dan sarkasme di Facebook-nya.