Langsung ke konten utama

Muslihat Politik Jautir Simbolon

Politikus Jautir Simbolon adalah abang kandung dan sekaligus arsitek politik Rapidin Simbolon, mantan Bupati Samosir yang kini menjadi ketua PDI Perjuangan Sumatra Utara dan anggota DPR RI terpilih. Jautir memajukan adiknya itu pada pilkada Samosir 2005 biarpun sudah tahu pasti kalah; melarangnya mengikuti pilkada 2010 walau sudah cukup modal; dan membawanya hanya sebagai wakil bupati pengganti demi kemudahan meraih kemenangan pada pilkada 2015.

Politikus Jautir Simbolon, abang kandung Rapidin Simbolon (kini jadi ketua PDIP Sumut), difoto di Pangururan, Kabupaten Samosir, Agustus 2016. FOTO: JARAR SIAHAAN/arsip tabloid Batak Raya

Berita politik ini terbit pertama kali dalam tabloid Batak Raya edisi September 2016 dengan judul “Muslihat Politik Jautir Simbolon”, ditulis oleh Jarar Siahaan, yang kini menjadi editor dan konsultan redaksi media siber BatakRaya.com.

* * *

Dahulu pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, kakek dari ayah Jautir Simbolon adalah seorang raja pandua. Ayah Jautir sendiri, Gerhard Simbolon, berpuluh tahun menjadi kepala desa yang dikenal hidup lurus dan tidak korup. Darah politik itulah yang sekarang diwarisi oleh Jautir, 56 tahun.

Dalam dunia politik di Kabupaten Samosir, Jautir Simbolon bukan pemain baru. Ia sudah aktif berpolitik sebagai pengurus PDI Perjuangan Kabupaten Toba Samosir di Balige ketika wilayah Samosir masih merupakan bagian dari Kabupaten Toba Samosir.

Sejak bertahun-tahun silam Rapidin Simbolon menilai abangnya Jautir sebenarnya punya potensi dan peluang menjadi bupati di Samosir, karena Jautir memiliki hubungan yang bagus dengan pengurus pusat PDI Perjuangan dan sudah kenyang makan asam garam politik sejak masih di Kabupaten Toba Samosir.

Akan tetapi, ada batu sandungan: Jautir tidak memiliki uang yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya, kedua modal itu ada pada diri Rapidin. Masalahnya, Rapidin tergolong fakir pengalaman berpolitik.

Karena itulah, pada tahun 2005, saat diberlakukannya undang-undang baru bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh anggota DPRD, “Saya mengajak Rapidin terjun ke dunia politik,” kata Jautir Simbolon kepada tabloid Batak Raya di Pangururan, 29 Juli 2016.

Semua saudaranya yang lain menentang gagasan Jautir itu: “Kau sajalah dulu berpolitik.” Akan tetapi, Rapidin sendiri tidak menampik, dan dia justru tertarik.

Jautir melihat pilkada yang sedang berlangsung di Kabupaten Toba Samosir tahun 2005 itu akan ditentukan oleh kekuatan uang belaka; dan menurut dia dan kawan-kawannya di DPC PDIP Kabupaten Toba Samosir, kandidat petahana Sahala Tampubolon tidak tepat dipilih kembali sebagai bupati. Karena itu, Jautir habis-habisan mendukung Monang Sitorus sebagai calon bupati dari partainya.

“Tidak serupiah pun saya meminta uang dari Monang,” kata Jautir Simbolon.


Akhirnya Monang memang menang. Namun, hanya beberapa bulan setelah dilantik sebagai Bupati Toba Samosir, Monang langsung mengorupsi tiga miliar rupiah dana APBD, kemudian divonis bersalah dan masuk penjara setelah masa jabatannya habis.

Pada tahun 2005, Kabupaten Samosir, yang baru setahun otonom dari Kabupaten Toba Samosir, juga tengah mengikuti pilkada langsung, dan pengurus sementara PDI Perjuangan Kabupaten Samosir sudah dibentuk. Dalam DPC baru itu, Jautir menjadi sekretaris.

Partainya mengusung Marlen Samosir sebagai calon bupati dan Rapidin Simbolon sebagai calon wakil bupati. Biarpun sejak pencalonan Rapidin sudah ada prediksi Jautir bahwa adiknya itu tidak bakal menang, Jautir tetap serius bekerja dengan tim sukses karena “yang penting bukan si… itu yang menjadi bupati,” katanya.

Setelah kalah dalam pertarungan pilkada Samosir, Rapidin kembali ke Jakarta untuk meneruskan usaha bisnisnya walaupun sesungguhnya merasa berat menerima kekalahannya. “Kumpul uang dulu supaya bisa maju lima tahun lagi,” kata keluarga kepada Rapidin.

Pilkada Samosir tahun 2010 pun tiba, dan persiapan Rapidin sudah benar-benar matang. Dia ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Samosir, dan berkata kepada abangnya Jautir, “Sudah ada uangku Rp12 miliar untuk biaya kampanye.”

Namun, bukannya didukung, Rapidin justru dilarang. “Jangan ikut pilkada tahun ini,” kata Jautir Simbolon, “karena siapa pun pasti kalah melawan calon petahana Mangindar Simbolon.”

Jautir sudah membaca peta politik dan melihat kuku Mangindar menancap makin dalam di mana-mana. Melawan Mangindar sama saja dengan “kalah atau mati”, bunuh diri, atau membangkrutkan diri sendiri.

“Usiamu masih muda. Masih ada waktu yang lebih tepat untukmu, tahun 2015. Jangan khawatir,” kata Jautir kepada Rapidin Simbolon.

Rapidin pun menuruti nasihat abangnya itu.

Pada tahun 2010, Jautir Simbolon mengabaikan pilkada Samosir, dan “saya kocok juga kepengurusan PDIP di Samosir.” Dia juga sengaja tidak aktif selaku tim sukses kandidat mana pun.

“Begitu lebih baik supaya nanti siapa pun yang menang tidak menjadi lawan,” katanya kepada Rapidin.

Telak seperti prakiraan Jautir, pemilu kepala daerah tahun 2010 itu dimenangi oleh Mangindar Simbolon dan wakilnya, Mangadap Sinaga.

Sementara itu, dari Jakarta, Rapidin mengongkosi Jautir di Pangururan agar tetap bergerak di tengah masyarakat Kabupaten Samosir untuk menghimpun sokongan suara baginya pada pilkada 2015.

Tahun 2012, Effendi Simbolon, anggota DPR dari PDI Perjuangan, mulai menampakkan dukungan untuk mengusung Wakil Bupati Mangadap Sinaga menjadi calon Bupati Samosir pada pemilu 2015.

Jautir tidak mau ketinggalan langkah. Dia menyiapkan deklarasi keluarga: Rapidin Simbolon akan maju dalam pilkada 2015.

Namun, sebelum maklumat politik itu sempat diumumkan kepada khalayak, tiba-tiba Mangadap Sinaga berpulang karena penyakit dadakan. Deklarasi Rapidin sebagai calon bupati pun urung.

Menurut aturan, kekosongan kursi Wakil Bupati Samosir hanya bisa diisi oleh tiga partai pengusung Mangindar dan Mangadap, termasuk PDIP.

Jautir Simbolon melihat kondisi ini sebagai peluang politik: jabatan wakil bupati akan sangat mangkus dan sangkil untuk dimanfaatkan demi meraup simpati rakyat.

Lantas dia menawarkan kepada Rapidin: menjadi Wakil Bupati Samosir untuk memperhatikan petani, turun ke lapangan setiap hari, tidak usah mengurusi proyek dan mutasi kepala dinas. Ternyata Rapidin setuju.

Kala itu, kendatipun Jautir Simbolon sudah pindah ke Partai Gerindra, dia masih sanggup melobi DPP PDI Perjuangan di Jakarta.

Kemudian Rapidin Simbolon menyerahkan sejumlah uang kepada abangnya untuk ongkos operasi politik sebelum bertolak menuju ke Jakarta.

“Duduk tenang saja kau di sana, biar saya yang mengurus,” kata Jautir kepada adiknya itu.

Operasi politik pun dimulai dengan “muslihat adat Batak” ala Jautir. Dia mendatangi satu demi satu kerabat anggota DPRD Kabupaten Samosir.

Yang pertama dia dekati bukanlah si anggota Dewan, melainkan orang tuanya, mertuanya, pamannya, menantunya, dan “pokoknya keluarga dekatnya,” katanya.

Siasat cerdik ini dilakukan Jautir Simbolon karena “nungnga huboto DPRD akka ‘pamangus’ marpolitik, songon ahu, ha-ha-ha,” katanya. Maksud dia: “Anggota DPRD itu berpolitik seperti saya, tamak, takbisa dipegang kata-katanya.”

“Mau maju adikku si Rapidin jadi wakil bupati. Bagaimana pendapat Tulang?” kata Jautir kepada orang tua salah satu anggota DPRD Kabupaten Samosir.

“Baguslah, supaya ada yang meneruskan kiprah Lae, bapakmu, yang dulu lama menjadi kepala desa,” jawab si orang tua.

“Itulah, tapi pendapat Tulang belum tentu sama dengan anakmu yang di Dewan itu.”

“Bah, tidak bisa begitu. Harus dia dukung. Nanti saya bilang kepada dia.”

Setelah bergerilya dari pintu ke pintu, Jautir menghitung sudah berhasil meyakinkan keluarga sembilan anggota DPRD Kabupaten Samosir. Tugas selanjutnya, memperoleh dukungan dari pengurus partai, juga mulus terlaksana berkat taktik pendekatan ala Jautir. Alhasil, pada pemilihan di DPRD Samosir, Rapidin meraih suara terbanyak untuk menjadi wakil bupati.

Selama satu setengah tahun selaku Wakil Bupati Samosir, Rapidin hampir setiap hari menjalankan tugas-tugas lapangan, yang makin mendekatkannya dengan rakyat. Inilah yang disebut Jautir “jauh lebih efektif ketimbang kampanye pada masa pemilu.”

Itu terbukti benar: pada pilkada 2015, mayoritas masyarakat memilih Rapidin menjadi Bupati Samosir.

Sekarang—tahun 2016, saat liputan ini diterbitkan tabloid Batak Raya—usia Rapidin Simbolon belum lebih dari 50 tahun, dan karier politiknya masih bisa panjang lagi berpeluang. Entah apa yang akan dibisikkan oleh Jautir kepadanya pada lima tahun atau sepuluh tahun mendatang.

“Dahulu ayah kami pernah mengatakan bahwa nama saya memiliki arti ‘jangan kau khawatir’,” kata Jautir Simbolon.

Jautir Simbolon: Rapidin pekerja keras dan suka melawak

Menurut cerita Jautir Simbolon, sejak dahulu, semasih kanak-kanak, adiknya Rapidin Simbolon tidak pernah melawan abang-abangnya, dan orangnya suka melawak.

Ayahnya, Gerhard Simbolon, semasa hidupnya sering merindukan cerita-cerita jenaka Rapidin. Manakala Rapidin sedang “serius” membanyol, perut orang bisa terkocok. Bahkan, karena dia pandai melucu, jualan minyak tanah Rapidin semasa SMA laris manis di pasar Pangururan.

“Tapi tensi humornya sebanding dengan tensi emosinya kalau lagi marah,” kata Jautir.

Dia juga mengaku terkesan akan perjuangan Rapidin selama kuliah di Medan.

Katanya, beberapa bulan pertama kuliah, Rapidin masih menerima kiriman uang dari orang tuanya di Pangururan.

Namun, Rapidin sering menangis ketika uang itu sampai di tangannya. Dia membayangkan betapa berat beban ibunya, Reni Situmorang, yang masih harus membanting tulang pada usia 70 tahun demi kuliah Rapidin si anak bungsu.

Oleh karena itu, diam-diam Rapidin menarik becak dan tidak lagi meminta biaya kuliah dan ongkos makan dari orang tuanya di Pangururan. Dia amat giat belajar dan berhasil menamatkan S-1 hanya dalam tempo tiga tahun.

Setelah bekerja di Jakarta dan bolak-balik mengurus bisnis ke Kalimantan, Rapidin Simbolon melanjutkan kuliah S-2. Kemudian dia membangun sebuah hotel di kampung halamannya, Pangururan, dan menamainya Hotel Dainang karena ibunya “adalah sosok yang paling hebat bagi Rapidin,” kata Jautir Simbolon.

Tentang ayahnya, Gerhard Simbolon, Jautir menyebut dia sebagai orang tua yang demokratis dalam urusan pernikahan putra-putrinya. Dia tidak mendesakkan keinginan hatinya kepada anaknya. Mereka bebas menentukan calon istri atau suami sepanjang tidak melaini norma agama dan tatanan adat Batak Toba.

Contohnya, kata Jautir, dulu pernah salah satu adik laki-lakinya mendekati seorang boru Sinurat, tetapi Gerhard marah besar. “Tidak boleh, itu hubungan terlarang, karena boru Sinurat lebih-lebih dari saudarimu sendiri,” kata Gerhard.

Jautir sendiri tidak beristrikan perempuan Batak, tetapi “boru sileban, dan itu tidak jadi masalah bagi ayah kami,” katanya. ❑

BACA juga berita politik lainnya dari Samosir: Mantan Ketua DPRD yang Miskin dan Banyak Utang

Postingan populer dari blog ini

Jika Freddy Situmorang Jadi Bupati, Rapidin “Menggiring Anggaran” ke Samosir

ADVERTORIAL—Bakal calon Bupati Samosir dari PDIP Freddy Paulus Situmorang akan berpasangan dengan Andreas Bolivi Simbolon. Anggota DPR terpilih Rapidin Simbolon akan membantu Freddy dengan APBN dan APBD Sumut. Regu penggerak pemilih Freddy Situmorang dikukuhkan di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, 14 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Sudah menjadi rahasia umum, selama ini banyak bupati dan wali kota di Indonesia yang tidak bisa maksimal membangun daerahnya karena kesulitan memperoleh anggaran pembangunan dari APBN. Kepala daerah mesti punya kemampuan melobi kementerian, antara lain melalui pengaruh politik anggota DPR. Inilah salah satu keunggulan Freddy Situmorang, yang punya slogan “energi baru”, dibandingkan kandidat lainnya. Dia sudah mendapat dukungan penuh dari politikus nasional Rapidin Simbolon, anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Sumatra Utara. Sokongan penuh Rapidin ini dia ucapkan sendiri ketika menghadiri pengukuhan

Verisa Sinaga: Kita “Memberontak,” Sayalah Ketua PKK Samosir Nanti

ADVERTORIAL— Freddy Situmorang , bakal calon Bupati Samosir dari PDI Perjuangan, punya keunggulan yang takada pada diri petahana Bupati Vandiko Gultom, yaitu bahwa Freddy memiliki seorang istri, pasangan hidup yang dicintainya, sedangkan Vandiko masih membujang, tidak punya istri. Dalam konteks politik pilkada, status beristri dan takberistri ini signifikan, karena bisa dimanfaatkan untuk meraih suara, khususnya suara kalangan perempuan. Dari kiri: Andreas Simbolon, Rapidin Simbolon, Freddy Situmorang, dan Verisa Sinaga dalam acara politik di depan seribu warga di Desa Tomok Parsaoran, Kabupaten Samosir, 18 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Istri Freddy Paulus Situmorang adalah seorang boru Sinaga, yang bernama lengkap Verisa Margret Subara. Menurut salah satu kerabat Verisa, Subara adalah akronimi dari Sinaga Uruk Barita Raja, yang berasal dari Desa Sirait, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir. Nama “Verisa” sendiri mengandung makna yang bagus. “Gemar membantu dan praktis. Dia setia, m

Tersebab 11 “Dosa yang Dicari-cari,” Dokter PNS di Samosir Dipecat Bupati

Pangururan, BATAK RAYA —Bilmar Delano Sidabutar (33), dokter yang menjadi PNS sejak 2016 di Kabupaten Samosir, dipecat oleh Bupati dengan sebelas alasan. “Fitnah. Kesalahanku dicari-cari. Ada tawaran berdamai, tapi saya tidak tertarik. Akan kutuntut sampai puncak,” kata dr. Bilmar. Dokter Bilmar Delano Sidabutar (Foto: dokumen pribadi) Justru pada saat masih kurangnya tenaga dokter di Kabupaten Samosir, Bupati Vandiko Gultom nekat memberhentikan dr. Bilmar Sidabutar sebagai pegawai negeri sipil berdasarkan surat keputusan yang diteken Bupati pada 2 Agustus 2024. Jabatan terakhir Bilmar ialah dokter ahli muda di Puskesmas Limbong, Kecamatan Sianjurmulamula. Sebelum itu, dia bertugas sebagai kepala Puskesmas Harian, Kecamatan Harian. Menurut surat keputusan (SK) Bupati, dr. Bilmar “telah terbukti dengan sengaja melakukan” sebelas kesalahan, tetapi Bilmar membantah semuanya. “Sebelas dosa besar” dr. Bilmar Sidabutar Berikut rincian sebelas kesalahan Bilmar seperti tercantum dalam surat ke